Tuesday, March 30, 2010

Etika Komunikasi Massa

Etika Komunikasi Massa

Saat ini bangsa Indonesia sedang menghadapi era teknologi maju, diantaranya melalui media massa televisi, radio, surat kabar, dimana informasi melalui media massa tersebut begitu deras mengalir dan cepat diterima oleh para penonton, pendengar, maupun pembacanya. Kuatnya pengaruh dari kegiatan komunikasi melalui media massa, menyulitkan kita untuk memilah-milah informasi mana yang sebaiknya diserap oleh pengguna media massa tersebut. Dalam hul ini yang paling banyak mendapat sorotan tajam dari masyarakat adalah media massa televisi melalui tayangan-tayangannya.


Seiring kiprah televisi yang semakin luas jangkauannya, serta tumbuhnya stasiun-siusiun TV baru, memungkinkan banyaknya sendi-sendi kehidupan yang berlaku dalam masyarakat seperti norma atau perilaku jadi ikut tergradasi. .Untuk mengantisipasi hal ini, maka dibentuk oleh pemerintah Komisi Penyiaran Ihdonesia-Daerah (KPID) yang mengatur keberadaan TV atau radio publik dengan melihat dari segi isi (content) tayangan termasuk juga tentang frekuensinya, yang mana semua ini diatur dalam Undang-undang nomor 32 tahun 2002 tentang penyiaran.
Masalahnya adalah, apakah media massa khususnya media elektronik dapat memenuhi harapan publiknya dengan isi (content) yang tepat atau cocok dengan lokalitas yang dimiliki daerah atau wilayah di mana media tersebut beroperasi. Sudah tentu untuk itu diperlukan ada-nya etika dalam menjalankan media komunikasi massa, dengan mengutamakan isi pesan yang memuat budaya daerah yang bersangkutan.
Media dan publiknya
Dalam penggolongannya, radio dan televisi masuk dalam media komunikasi massa. Tetapi masing-masing punya sifat penyiaran yang sedikit berbeda. Radio bersifat audio (suara), sedangkan televisi bersifat audio-visual (suara-gambar). Dari segi penampilan, maka jelas di sini televisi punya keunggulan lebih dengan sifat penyiarannya yang audio¬visual itu dibanding dengan radio. Tetapi kekhawatiran akan tergesemya radio, dengan banyak bermunculannya stasiun televisi ternyata tidak perlu terjadi, karena masing-masing media ini dengan waktu siaran dan jenis siarannya mempunyai publiknya sendiri-sendiri.
Orang yang tidak sempat membaca surat kabar, tentu akan menyempatkan din menonton siaran berita di televisi pada malam hari, sambil duduk beristirahat di rumah berkumpul dengan keluarga. Sedangkan bagi mereka yang sedang belajar atau bekerja, agar tidak jenuh tentu lebih memilih ditemani lantunan lagu-lagu dengan selingan obrolan ringan dari para penyiar radio.
Jelas di sini masing-masing media massa tersebut punya publiknya sendiri, yang mana saat mendengar dan menontonnya disesuaikan dengan situasi dan kondisi yang sedang dialami oleh publiknya tersebut.
Hal lain yang bisa menunjukkan bahwa radio tidak tergeser oleh televisi adalah mulai menjamumya stasiun-stasiun radio, tidak saja di kota-kota besar tetapi kini sudah sampai ke daerah-daerah. Kalau dulu sta¬siun radio di satu daerah hanya ada sekitar dua stasiun, tetapi kini benar-benar bisa dikatakan “bagai jamur tumbuh di musim hujan”, terlepas dari apakah stasiun tersebut sudah memiliki ijin siaran atau belum.
Seiring dengan banyaknya jumlah stasiun radio dan televisi yang bermunculan, kini timbul pula permasalahan baru yuitu bagaimana dengan isi dari pesan-pesan yang disampaikan oleh media massa tersebut. Apakah layak untuk disiarkan? Mengingat dampak atau pengaruh yang ditimbulkan oleh media massa melalui pe¬san-pesan komunikasinya cukup besar.
Seperti apa yang dikatakan oleh Drs. H. Mafri Amir, M. Ag., bahwa: “dampak komunikasi massa, selain positif juga negatif. Pengelola komuniksi massa dapat dipastikan tidak berniat untuk menyebarkan dampak negatif kepada khalayaknya. Yang diinginkan adalah dampak positif. Apabila terdapat dampak negatif, bisa dikatakan sebagai efek samping. Namun efek samping itu cukup membahayakan sendi-sendi kehidupan masyarakat banyak”.
Secara garis besar fungsi komunikasi massa mcnurut Prof. Onong Uchjana Effendy hanya tiga, yakni: (1) menyiarkan informasi (to inform), (2) mendidik (to educate), (3) merighibur (to entertain). Tetapi ada para ahli yang menambah fungsi selain dari tiga fungsi tersebut, yaitu fungsi mempengaruhi (to influence), fungsi membimbing (to guide), dan fungsi men-geritik (to criticise). Fungsi yang terakhir ini adalah fungsi media massa dalam menjalankan perannya sebagai “social control” atau sebagai “filter”. Bahkan ada yang mengatakan sebagai “pengawas” atau “watchdog”. Hal ini mesti dilakukan demi menegakkan kebenaran dan keadilan.
Tetapi lagi-lagi dari tayangan-tayangan yang ada (khususnya media televisi), ternyata fungsi hiburan dan mempengaruhi lebih mendominasi daripada fungsi yang lainnya. Cobalah kita simak, banyak stasiun-stasiun televisi yang lupa pada jam tayang yang tepat untuk suatu acara tertentu. Acara musik memang bisa ditayangkan kapan saja, tetapi yang scring kita lihat adalah acara musik dengan penyanyi dan penari latar dengan pakaian yang jauh dari kesan sopan. Bahkan, malah sering kita lihat sang penari latar berpenampilan lebih seronok dibanding penyanyinya.
Nah, hal-hal seperti inilah yang membuat cukup banyak orang merasa prihatin. Kalau sudah begini, bukan decak kagum yang terlontar dari mulut kita (walaupun suara penyanyinya bagus), tapi malah mengurut dada sambil keluar ucapan “astaghfirullah”. Ini baru satu jenis acara, belum lagi jenis acara-acara yang lainnya, seperti film cerita, sinetron yang mutunya makin mencemaskan, infotainment yang penuh dengan berita gossip atau bahkan lawakan-lawakan yang sepintas kelihatan lucu tapi banyak pesan pornografi di dalamnya dan rental sensualitas.
Yang lebih parah lagi acara tersebut ditayangkan pada siang dan petang hari bukan malam hari, di mana banyak anak-anak yang menonton televisi justru pada jam tersebut. Semua ini membuat orang berpikir dan bertanya, apakah memang harus demikian bila sebuah stasiun televisi ingin menarik pemirsanya. Tidak adakah cara lain yang lebih menunjukkan rasa tanggungjawab secara moral terhadap akibat yang ditimbulkan dari acara-acara tersebut dalam jangka waktu yang panjang. Apalagi kita semua tahu bahwa salah satu ciri karakteristik dari komunikasi massa adalah penyampaiannya yang serempak. Artinya dalam waktu yang bersainaan secara serentak jutaan orang lerkena terpaan tayangan tersebut, dan sebagian pemirsanya adalah anak-anak. Bisa dibayangkan bagaimana pengaruh terpaan tersebut terhadap mereka.
Etika komunikasi massa
Kalau berbicara tentang etika, yang terbayang oleh kita adalah kata sopan santun. Bila dikaitkan dengan komunikasi massa, maknanya menjadi bagaimana tata cara sopan santun diterapkan dalam penyiaran acara dari media komunikasi massa. Sebenarnya adab sopan santun itu dimiliki oleh semua orang, hanya kadang-kadang hal itu tertutup oleh kepentingan pribadi yang sulit untuk digeser, sehingga yang muncul lebih dominan adalah hal-hal yang lebih bermuatan komersil tanpa mau melihat sisi lainnya.
Seperti dikutip Onong Uchjana Effendy, Mochtar Lubis mengartikan etika (etos) secara luas, yakni dalam maknanya sebagai sistem tata nilai moral, tanggungjawab, dan kewajiban. Jadi etika merupakan suatu perilaku yang mencerminkan i’tikad baik untuk melakukan suatu tugas dengan kesadaran, kebebasan yang dilandasi kemampuan.
Berbicara mengenai media massa, terutama tentang penyiarannya, di dalam Undano-undang No. 32 Tahun 2003 sudah termaktub segala aturan, dari mulai aturan teknis sampai ke aturan isi siaran. Apabila dilihat dari sisi agama Islam selain undang-undang yang dibuat oleh manusia, ternyata ada pedoman yang lebih kuat lagi (sebenamya) yaitu menurut Alquran dan Sunnah Rasul.
Bagi umat Islam, etika yang dijadikan dasar adalah nilai-nilai moral yang terdapat dalam kitab suci Alquran dan Sunnah Rasul. Sebenarnya kalau kita mau jujur, Alquran sebagai wahyu Allah telah memberikan prinsip-prinsip dasar yang melandasi etika komunikasi, termasuk komunikasi massa.
Dalam konteks komunikasi, maka etika yang berlaku harus sesuai dengan norma-norma yang berlaku. Berkomunikasi yang baik menurut norma agama, sudah tentu harus sesuai pula dengan norma agama yang dianut oleh masing-masing individu.
Pada dasarnya semua agama memiliki tujuan yang sama bila berbicara tentang etika. Karena tentu saja tidak ada satu agama pun yang mentolerir, baik itu perlakuan kasar, kata-kata kotor, tindakan yang asusila atau perbuatan apa saja yang membuat orang lain tidak nyaman. Pendek kata agama mengajarkan bagaimana manusia itu dapat meraih kehidupan yang tenang, tentram, dan damai dengan sesamanya.
Dikatakannya, bahwa dalam konteks komunikasi massa, maka berbohong merupakan sifat tercela, karena sangat berbahaya. Kebohongan dalam komunikasi massa akan menyesatkan masyarakatdisebabkan telah menyerap informasi yang salah. Tentu komunikasi seperti ini menyalahi etika komunikasi dan ajaran Islam.
Media massa yang sudah menyam-paikan informasi yang tidak sesuai lagi de-ngan data dan fakta, atau dengan kata lain sudah menyampaikan informasi yang tidak bisa diterima secara moral oleh pub¬liknya, maka akan sulit lagi untuk meraih kepercayaan dari publiknya. Publik kini sudah lebih kritis dari yang dibayangkan. Contoh konkritnya dalam media massa televisi, orang-orang akan dengan mudah dan bebas memindah-mindahkan saluran televisi melalui “remote” di tangannya, bebas. memilih acara yang disukai.
Kini orang cenderung lebih suka memilih stasiun televisi yang menayangkan film tentang binatang atau tentang ilmu pengetahuan daripada harus menonton acara musik, entah itu musik pop atau dangdut yang penampilannya seronok. Jadi, semestinya para pengelola stasiun televisi bisa lebih peka melihat gejala seperti ini dengan memikirkan lebih serius untuk membuat tayangan yang lebih berbobot, lebih agamis, juga berani untuk merubah paradigma lama yang hanya mengutamakan segi komersil semata.
Bagai gayung bersambut, akhir Desember lalu di Jakarta telah diluncurkan “Kampanye Televisi Sehat (KTS)” yang merupakan kerjasama Yayasan Kesejahteraan Anak Indonesia (YKAI), Komunitas TV Sehat, dan badan PBB yang menangani masalah anak (UNICEF). Dalam pertemuan tersebut KTS mengajak stasiun televisi memperhatikan kualitas programnya dan masyarakat harus menerapkan budaya nonton televisi yang sehat. Menurut B. Guntarto, Kepala Kajian Anak dan Media YKAI (Republika, 30/12-05) menyebutkan kuantitas program televisi untuk anak meningkat seliap tahunnya. Frekuensi penayangannya perminggu, bahkan perhari, juga makin tinggi. Padahal telah diungkapkan dari berbagai literatur bahwa frekuensi menonton anak tidak lebih dari 2 jam perhari.

No comments:

Post a Comment

10 Cara Dapatkan Penghasilan Pasif dari Aset Kripto

  Semua pecinta aset kripto nampaknya paham bahwa cara paling umum dalam mendulang cuan di aset kripto adalah dengan   trading . Hanya saja,...